Investor Amerika Serikat Jajaki Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Babel
April 23, 2021PLNE mulai feasibility study Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT)
April 30, 2021RUANGENERGI.COM–-Nuklir yang selama ini dianggap tidak ramah lingkungan ternyata terbukti tidak benar. Hal tersebut didasarkan pada studi yang dilakukan oleh European Commission Joint Research yang hasilnya baru saja dirilis pada bulan Maret 2021 yang menyatakan,
“tidak ada bukti berbasis sains bahwasanya energi nuklir lebih membahayakan kesehatan manusia/lingkungan daripada teknologi produksi listrik lainnya yang sudah termasuk dalam Taxonomy sebagai kegiatan yang mendukung perubahan iklim”melalui kajian berjudul Technical Assessment of Nuclear Energy with Respect to the ‘do no significant harm’ criteria of Regulation (EU) 2020/852 (‘Taxonomy Regulation’).
Dimana para ahli sepakat mengenai fakta yang tidak terbantahkan bahwa bukan saja nuklir memproduksi emisi CO2 yang rendah tetapi juga ramah lingkungan dimana nuklir merupakan bauran enegi bersih terbesar khususnya bagi negara maju di dunia.
Data dari BP Statistical Review of World Energy, menunjukkan bahwa dalam produksi listrik nirkabon di negara maju di dunia hingga 2018, bauran energi nuklir adalah 40% atau mendekati angka 2000 TwH. Sedangkan, untuk bauran pembangkit tenaga hydro adalah 30%, tenaga angin 15% dan tenaga surya 6%, padahal ketiga pembangkit tersebut yang selalu digadang-gadang hanya memiliki bauran dibawah atau setara dengan 30%, masih dibawah bauran nuklir.
Hal yang demikian menunjukkan negara maju lebih mengandalkan nuklir daripada energi terbarukan dalam hal produksi listrik nirkabon untuk energi yang lebih bersih.
Perdebatan apakah nuklir adalah energi ramah lingkungan telah berlangsung cukup lama di Komisi Eropa, dimana beberapa negara mengatakan nuklir tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan antara lain Jerman, yang menolak nuklir dimasukan dalam taxonomy green energy.
Sementara,Perancis dan beberapa negara lainnya mengatakan sebaliknya. Hal ini menyebabkan perlakuan berbeda terhadap nuklir, termasuk berbagai insentif pembiayaan dari sumber dana hijau (green funding) yang dinikmati sumber energi bersih lainnya yang mana tidak didapat oleh nuklir. Hal ini merugikan negara-negara yang memanfaatkan PLTN di dunia.
Dengan keluarnya hasil kajian tersebut, maka perdebatan itu telah selesai dan nuklir seharusnya berhak mendapatkan status sebagai energi ramah lingkungan dengan mengantongi Green Investment Label setelah adanya Kajian Joint Research yang dilakukan oleh European Commission tersebut.
Yang mana telah membuktikan bahwa Nuklir adalah energi ramah lingkungan, sama dan setara dengan energi air (hydro) dan energi terbarukan lainnya yang dianggap ramah lingkungan.
Berdasarkan hasil Kajian tersebut, beberapa Kepala Negara di Uni Eropa yang memanfaatkan energi nuklir seperti Kepala Negara Perancis, Republik Ceko, Hungaria, Polandia, Romania, Slovania dan Slovakia, menuntut adanya persamaan insentif yang diberikan terhadap energi nuklir karena selama ini energi lain yang ramah lingkungan mendapat insentif iklim dan energi sedangkan energi nuklir tidak, dengan mengirimkan Surat Bersama kepada Komisi Uni Eropa terkait peran energi nuklir terhadap iklim dan ketentuan energi di Uni Eropa. Mengingat pula setengah dari negara-negara anggota Uni Eropa menggunakan dan/atau mengembangkan nuklir.
Dalam konteks ini, semua teknologi yang tidak memiliki dan rendah emisi harus diperlakukan sama dalam semua kebijakan, termasuk Taxonomy Regulation yang bertujuan untuk mencapai netralitas iklim pada tahun 2050.
Sejalan dengan Kajian yang dilakukan oleh Komisi Eropa yang membuktikan bahwa energi nuklir adalah energi yang ramah lingkungan, Universitas Sebelas Maret sedang melakukan dan dalam tahap penyelesaian kajian independen mengenai
“Nuklir sebagai Solusi dari Energi Ramah Lingkungan yang Berkelanjutan untuk Mengejar Indonesia Sejahtera dan Rendah Karbon pada Tahun 2050”.
Isu ramah lingkungan dapat dilihat dari beberapa faktor yang harus dipenuhi antara lain rendah emisi gas rumah kaca, minim penggunaan lahan, tidak membahayakan ekosistem dan penanganan limbah yang tepat.
“Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) khususnya generasi IV yakni Small Modular Reactor (SMR) adalah pembangkit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan sistem keselamatan dan keamanan bersifat pasif dan melekat / inherent, merupakan pembangkit energi listrik baru yang sudah
seharusnya segera dipertimbangkan Pemerintah Indonesia sebagai komitmen meratifikasi Paris Agreement (COP 12) menjadi negara rendah emisi karbon (CO2). Pengalaman negara Jerman dan negara Perancis adalah hal yang menarik untuk dijadikan pelajaran negara-negara lain, yang mana Jerman yang mengandalkan energi surya dan angin dimana 40% pembangkit yang dipakai adalah bersumber dari energi terbarukan dan dari PLTU batubara terbukti bahwa emisi gas rumah kaca di Jerman masih tinggi, yaitu kurang lebih 4 kali lebih besar dari Perancis yang menggunakan energi nuklir sebanyak 70% sebagai sumber energi primer yang mampu menurunkan emisi gas rumah kaca.” Ungkap Prof. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc.(Hons), Ph.D. selaku Ketua Tim Kajian Awal Nuklir Sebagai
Energi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan untuk Mengejar Indonesia Sejahtera dan Rendah Karbon pada Tahun 2050.
Tantangan bagi pembangkit listrik saat ini bukan hanya harus menghasilkan energi yang bersih dan terjangkau tetapi juga memiliki tingkat kerentanan yang tinggi baik terhadap bencana maupun perubahan iklim.
Sebagai contoh, akibat dari pemanasan global dan kerusakan lingkungan mengakibatkan turunnya permukaan air di bendungan-bendungan yang berdampak pada turunnya debit air di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang mengakibatkan produksi listrik terganggu, contohnya yakni menurunnya permukaan air bendungan cascade Citarum dan penurunan tinggi muka air Danau Toba yang memengaruhi 2 PLTA disekitarnya.
Salah satu contoh Bencana Badai Maria yang mengakibatkan banjir di Puerto Riko pada 19 September 2017 yang melumpuhkan dan merusak lahan pembangkit panel surya yang terletak di Humacao. Padahal panel surya disana merupakan yang menyumbangkan 40% produksi tenaga surya di pulau tersebut. Tak hanya itu, terdapat bencana tornado di Harper County, Kansas pada 12 Mei 2019 yang menyebabkan kerusakan pada turbin PLTB setempat. Banjir Bandang di Serbia, yang mengakibatkan tidak dapat berfungsinya PLTU Batubara pada 16 Mei 2014 karena kerusakan pada gardu listrik. Sementara, PLTN mulai dari reaktor, ruang kendalisampai tempat bahan bakar sendiri di desain untuk tahan baik gempa maupun badai.
Hal ini harus menjadi perhatian, bahwa menghadapi bencana dan perubahan iklim yang terjadi sertas kebutuhan industri yang memerlukan sumber energi yang bisa mengantisipasi dampak perubahan iklim termasuk Indonesia.
“Untuk mengentaskan kemiskinan, Indonesia sedang bertransformasi untuk menjadi negara industri. Tapi, industri membutuhkan energi yang masif, terjangkau dan bersih. Selain itu, Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim untuk mencapai target persetujuan Paris. Sederhananya, Indonesia membutuhkan opsi sumber energi bersih, masif, tidak intermittent juga terjangkau. Opsi itu ada pada nuklir”, Ungkap Fatma Puspitasari, yang pernah bertugas sebagai Kepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Nonkonvensional, Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman dan Investasi dan sekarang menjabat sebagai Kepala Bidang Pengendalian dan Pemanfaatan dan Pelestarian Hutan Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Nuklir seyogianya jangan dijadikan opsi terakhir pemanfaatan energi baru. Indonesia memiliki potensi sumber daya uranium dan thorium, yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pengembangan industri nuklir dalam negeri”, tutup Fatma.