Cadangan Thorium Bangka Belitung Capai 170 Ribu Ton
August 3, 2019Sistem Kelistrikan Jawa-Bali Masih Rentan
August 6, 2019EKONOMIBISNIS.COM – Selama hampir 30 jam listrik padam di wilayah Jakarta sehingga memicu sejumlah komentar dan pendapat, mulai dari kekecewaan hingga berbagai macam solusi yang banyak diutarakan masyarakat untuk menghindari kejadian serupa. Ada yang berpendapat sudah saatnya Indonesia lebih memanfaatkan pembangkit listrik energi terbarukan seperti air maupun tenaga surya untuk menghindari pemadaman. Ada juga yang berpendapat Indonesia sudah seharusnya berani mengembangkan pembangkit nuklir karena dinilai lebih stabil.
Solusi mengembangkan pembangkit nuklir menjadi menarik karena kerap menjadi perdebatan di sejumlah negara. Di Indonesia, meskipun pemanfaatan nuklir untuk kesehatan dan pertanian sudah ada sejak 55 tahun lalu, energi ini tetap mengundang kontroversi jika digunakan untuk pembangkitan listrik.
Padahal, sejumlah industri sudah mencoba masuk ke Indonesia untuk mengembangkan sumber energi baru di Tanah Air tersebut . Bulan lalu misalnya, Thorcon International Pte, Ltd. mengutarakan niatnya untuk mengembangkan pembangkit nuklir di Indonesia.
PT Pal Indonesia (Persero) yang merupakan perusahaan plat merah galangan kapal juga ikut ambil andil pada rencana proyek tersebut.
Tidak hanya industri yang tertarik, Rapat Komisi VII DPR RI pada bulan lalu juga riuh dengan perbincangan yang ingin mendorong realisasi pembangkit nuklir di Indonesia. Bahkan, salah satu kesimpulan yang dihasilkan dari rapat tersebut adalah Komisi VII DPR-RI mendesak Menteri ESDM untuk segera mengkaji peluang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) masuk di Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038 dan membandingkannya dengan biaya eksternal dengan pembangkit fosil.
Selain itu, Komisi VII DPR-RI sepakat dengan Menteri ESDM RI untuk melaksanakan focus group discussion (FGD) tentang PLTN yang diselenggarakan oleh PT PLN (Persero).
Lantas, jika Indonesia benar-benar mengembangkan pembangkit nuklir, apakah hal tersebut akan berbahaya? Sebenarnya, isu nuklir untuk pembangkitan bukan hal baru di Indonesia. Menurut Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan, Presiden Soekarno bahkan sempat berujar, \”Negara yang ingin maju harus menguasai antariksa dan nuklir\”. Ungkapan tersebut keluar saat Soekarno meresmikan reaktor riset nuklir pertama di Indonesia pada 1964.
Hingga saat ini, Indonesia pun telah memiliki tiga pusat riset nuklir. Dalam reaktor penelitian tersebut, Indonesia memanfaatkan nuklir berupa radiasi yang dihasilkan untuk bidang kesehatan dan pertanian.
Rupanya, radiasi nuklir yang keluar secara alami dapat dimanfaatkan untuk mematikan sel kanker dan menghasilkan benih tanaman yang lebih baik. Pemanfaatan nuklir tidak hanya berhenti di situ saja. Nuklir juga dapat dimanfaatkan energinya untuk pembangkitan, tetapi memang perlu pengembangan lebih lanjut.
Jika pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) memanfaatkan pembakaran batu bara atau pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memanfaatkan air untuk menggerakkan turbin, PLTN memanfaatkan energi inti atom untuk menggerakkan turbin. Prinsipnya hampir sama, hanya saja sumber tenaganya yang berbeda.
Hal tersebut berlaku juga dari segi faktor keamanan. Jika batu bara selama ini dianggap berbahaya karena menimbulkan polusi, begitu juga dengan air yang berbahaya jika konstruksi bendungan tidak kokoh, nuklir berbahaya karena menghasilkan radiasi yang dapat merusak materi yang dilewati. Dalam jumlah besar, radiasi nuklir bisa mengakibatkan luka bakar hingga kematian.
Menurut Anhar, sama halnya dengan energi lain, api misalnya, nuklir memang memiliki aspek yang dapat membahayakan. Hal itulah yang perlu dikontrol oleh manusia yang mengoperasikannya.
\”Jadi, sebenarnya [nuklir] punya potensi membahayakan. Sama juga saat bicara api, pasti bisa bahaya,\” katanya kepada Bisnis.
Anhar menjelaskan meskipun nuklir berbahaya, pengembangannya untuk energi pembangkitan di dunia nyatanya cukup besar. Hingga 2017, terdapat 454 pembangkit nuklir yang beroperasi dengan total kapasitas 55.589 megawatt (MW) dan lama beroperasi total mencapai 17.746 tahun. Pembangkit tersebut berada di Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara, Asia Selatan, Asia Timur, Timur Tengah, dan Eropa.
Adapun negara dengan porsi pembangkit nuklir terbesar adalah Prancis disusul Ukraina, Slovakia, Hungaria, Belgia, dan Swedia.
Meskipun perkembangannya cukup pesat, isu nuklir tetap saja kontroversial di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Isu nuklir sering kali dikaitkan dengan masalah kesehatan, limbah, ekonomi, senjata nuklir, maupun budaya. Belum lagi dengan terjadinya kecelakaan pembangkit nuklir yang terjadi di Fukushima, Jepang, pada 2014 sehingga menambah pandangan negatif terhadap PLTN.
Soal kecelakaan Fukushima, Anhar menjelaskan kejadian tersebut tidak ada kaitannya dengan kematian warga. Kematian warga justru disebabkan oleh tsunami yang menyerang.
Di samping itu, dari 454 pembangkit nuklir yang ada di dunia, kejadian kecelakaan yang tercatat hanya terjadi 3 kali. Selain Fukushima pada 2014, kejadian kecelakaan lainnya yakni di Amerika Serikat pada 1979 dan Rusia pada 1986.
\”Nah, Fukushima memang terjadi bahwa produk radionuklida sempat terlepas hingga tersebar ke lingkungan. Itu bahaya karena memancarkan radiasi, tetapi kematian di Jepang bukan karena radiasi,\” katanya.
Selain radiasi, pertimbangan lain untuk membangun PLTN adalah limbah. Limbah nuklir dapat berupa bahan bakar bekas, barang yang terkontaminasi radioaktif berupa padatan maupun cairan, dan buangan termal.
Meskipun menghasilkan limbah, jumlahnya bisa dikatakan cukup kecil. Hal tersebut lantaran kebutuhan nuklir yang sedikit untuk menjadi energi pembangkitan.
Anhar memaparkan setidaknya untuk satu pembangkit nuklir berkapasitas 1.000 MW, dibutuhkan 21 ton uranium untuk dapat memproduksi listrik selama 1,5 tahun. Dari kebutuhan 21 ton uranium, limbah yang dihasilkan hanya sepertiganya.
Biasanya, limbah nuklir akan dibuatkan tempat penyimpanan khusus. Pasalnya, limbah nuklir memiliki energi yang lebih besar dari sebelumnya dan dapat menghasilkan bom karena kemurniannya yang semakin tinggi.
Beberapa negara yang memiliki limbah nuklir akan menyimpannya dengan menimbun ke dalam tanah.
\”Limbah bahan radioaktif yang harus dijaga dan disimpan baik-baik karena tidak bisa disimpan sembarangan,\” katanya.
Sementara itu, Thorcon, yang baru-baru ini mengutarakan niatnya untuk mengembangkan pembangkit nuklir, mengklaim teknologinya aman. Bila dibandingkan dengan pembangkit nuklir lainnya, yang akan dikembangkan Thorcon adalah reaktor tanpa tekanan dan berada dalam keadaan cair.
Pembangkit nuklir berbasis thorium tersebut berada dalam cairan garam yang memiliki titik didih lebih tinggi dari air.
Kepala Perwakilan Indonesia Thorcon International Pte, Ltd. Bob S. Effendi mengatakan dengan titik didih tinggi, reaktor tetap bekerja saat terjadi bencana dan tidak akan mengulang ledakan nuklir Fukushima pada 2011 lalu.
Kondisi ini juga akan membuat biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan yang semakin murah. Setidaknya, BPP pembangkit nuklir yang dibangun tersebut diprediksi sebesar US$6 sen hingga US$7 sen per kWh atau setara dengan BPP pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan teknologi subcritical yang telah lama beroperasi di Indonesia.
Throcon berharap pada 2020 nanti, pembangkit tersebut bisa melakukan penandatangan kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PLN. Selanjutnya, pada 2020 pembangkit ini sudah dapat dibangun dan mulai beroperasi komersial pada 2026.
Akhirnya, pengembangan nuklir untuk pembangkitan listrik menjadi sebuah pilihan yang harus disepakati seluruh pemangku kepentingan. Selain ketahanan energi, pengembangan PLTN harus tetap mempertimbangkan aspek lingkungan hingga sosial.
Mungkin saja PLTN menjadi jawaban atas keandalan pasokan energi Indonesia di masa depan. Mungkin.