Indonesia and ThorCon continue working towards thorium reactor
June 14, 2018Thorcon Indonesia Siap Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Thorium
March 13, 2019Bangun Pembangkit Listrik Thorium Pertama di Indonesia
NEWSPROKAL.CO – BALIKPAPAN – Indonesia darurat energi. Bahkan hingga kini belum ditemukan solusi yang permanen. Terhadap beberapa permasalahan sektor kelistrikan. Dengan energi baru terbarukan pun dianggap hanya sebagai solusi tambal sulam.
Sementara menurut laporan asosiasi penambang batu bara, berdasarkan kajian yang di lakukan oleh PriceWater House Copper (PWC), batu bara Indonesia hanya cukup sampai tahun 2033.
Dari berbagai kajian yang di lakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang ditulis dalam BPPT Energy Outlook 2016, Indonesia pada tahun 2029 akan menjadi net importir energi dan total cadangan fosil (batu bara, minyak dan gas) tidak akan mencukupi sampai 2040.
“Artinya pada tahun 2040 Indonesia harus mengimpor hampir 70 persen dari energi primer. Ini bukanlah sebuah masa depan yang baik bagi pertumbuhan ekonomi,” kata Kepala Perwakilan Thorcon Indonesia, Bob S Effendi, dalam sebuah diskusi dengan para milenial di Digital Lounge Telkom Balikpapan, 19 Februari lalu.
Menurut BPPT Outlook 2018, Indonesia sesungguhnya sudah dapat dikatakan darurat energi dan untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 8.000 MW sampai pada 2050. PLTN dianggap solusi akhir. Karena mampu menyediakan apa yang menjadi syarat penggerak ekonomi.
Pertama harus bisa bekerja 24 jam tanpa tergantung dengan cuaca, kemudian stabil baik frekuensi dan voltase, dan yang terpenting murah atau terjangkau. Bila kemudian dimasukan bersih sebagai syarat maka yang lolos adalah hydro, geothermal dan nuklir.
Namun disebut Bob, hydro dan geothermal sangat location depended. Sementara nuklir dapat dipasang di mana saja atau mendekati beban. Bahkan PLTN generasi maju lebih murah dibandingkan keduanya. Memiliki foot print yang sangat kecil. Sehingga tidak membutuhkan lahan yang luas seperti large hydro.
“Sehingga dapat dikatakan PLTN lebih ramah lingkungan,” ujar pakar energi nuklir yang sudah menggeluti sektor energi selama 25 tahun itu.
Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, memang PLTN konvesional sangat mahal. Tetapi desain milik Thorcon dapat lebih murah dari pada PLTU batu bara. Dengan biaya sekitar USD 1,2 juta per MW dengan biaya produksi listrik lebih murah dari PLTU.
“Sehingga dapat menekan BPP (biaya pokok penyediaan) pembangkitan listrik nasional,” kata anggota Pokja ESDM KEIN RI itu.
BPP selama ini menjadi pemicu naiknya inflasi yang akhirnya menggerus daya beli masyarakat serta melemahkan daya saing industri. Apalagi dengan PLTN generasi IV seperti molten salt reactor yang populer dengan nama PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium) yang akan di bangun Thorcon dengan investasi USD 935 Juta atau sekitar Rp13 Triliun untuk membangun PLTT 2 X 500 MW melalui skema independent power producer (IPP) dengan target harga jual listrik di bawah BPP Nasional antara 6 – 7 sen per kwh.
“Dengan komponen bahan bakar PLTT yang hanya kurang dari satu persen BPP dibanding 70 persen BPP untuk PLTU, maka dengan ini dapat melepaskan perekonomian Indonesia dari volatilitas bahan bakar fosil,” kata Bob.
Bahkan disebut Bob, laba PLN pada 2017 merosot Rp 4 triliun dibanding tahun sebelumnya. Akibat tergerus naiknya harga batu bara. Bayangkan subsidi listrik 2018 Rp 52 triliun dan pada 2019 naik Rp5 triliun. Tembus Rp 58 triliun. Dapat dipastikan pada 2020 kondisi ini akan naik dan terus naik.
“Harga bahan bakar batu bara atau minyak dan gas akan terus berubah (volatile). Mengikuti pasar dan pemerintah maupun PLN tidak akan mampu mengontrolnya,” sebut Bob.
Hal ini akan menyebabkan tidak dapatnya terprediksi subisidi energi dalam APBN. Pada akhirnya menyebabkan beban bagi APBN dan masyarakat.
Dengan kata lain ekonomi Indonesia tersandera dengan naik turunnya harga batu bara dan gas. Saat ini BPP nasional sekitar USD 7,6 sen dan dengan meningkatnya pemakaian gas di masa depan, dapat dipastikan akan memicu kenaikan BPP nasional.
“Yang saya duga akan tembus USD 8 sen pada 2019,” ungkap Bob.
Karena itu PLTN yang harus dibangun adalah yang murah bukan yang mahal. Dapat menekan BPP Nasional dan tentunya memiliki tingkat keselamatan tinggi. Artinya menjamin kejadian seperti di Fukushima, Jepang tidak terjadi.
“Bila kedua hal tersebut di jadikan persyaratan PLTN maka hanya PLTT Thorcon yang masuk,” tegas Bob.
Untuk mencapai target kapasitas terpasang sesuai rencana pembangunan 430 ribu MW pada tahun 2050, maka di butuhkan membangun 10 ribu – 12 ribu MW pertahun. Sementara selama 20 tahun yang dapat terbangun rata-rata hanya 4 – 5 GW pertahun.
Walaupun saat ini karena pertumbuhan ekonomi yang melambat pada kisaran 5,1 persen sehingga 4 – 5 GW pertahun masih mencukupi, tetapi ketika pertumbuhan ekonomi telah di atas 6 persen sesuai dengan rencana maka jelas tidak akan mencukupi.
Oleh sebab itu di butuhkan pembangkit listrik skala Gigawatt dalam skala besar yang dapat di tingkatkan kapasitasnya dalam waktu cepat.
Karena desain Thorcon berada di atas kapal dimana setiap kapal adalah PLTN 500 MW yang lengkap siap beroperasi maka bila di butuhkan penambahan unit baru dengan cepat dapat lakukan. Lead-time antara order dan operasi hanya butuh dua tahun.
“Bila percaya pada analisa BPPT, maka pada 2050 target EBT adalah 31 persen dari 430 GW hanya dapat di capai 16 persen tanpa nuklir,” sebutnya.
Bila disimulasikan dengan PLTN seperti Thorcon yang murah maka target 31 persen dapat tercapai atau sekitar 94 GW artinya PLTT dapat menyumbang sekitar 4 GW per tahun sejak 2025. Bila ditambahkan untuk menggantikan batu bara dan gas yang sudah mulai habis dapat menjadi 6 GW per tahun atau sekitar 30 persen dari bauran 2050.
“Ini adalah market yang cukup menarik bagi PLTN. Itulah sebabnya Thorcon berminat akan membangun pabrik PLTT di Indonesia paska 2030 dengan kapasitas setara 10 GW per tahun yang akan menyerap lebih dari 10,000 tenaga kerja,” imbuhnya.
Soal ketersedian uranium, di dunia cukup banyak. Bahkan bila teknologi ektraksi uranium dari air laut yang sekarang sudah berhasil dilakukan dalam skala lab, maka sumber daya uranium tidak ada batasnya. Mungkin cukup untuk 10 ribu tahun.
Memang Indonesia tidak boleh melakukan pengayaan uranium. Tetapi itu lebih pada masalah politik dibanding teknologi. Yang suatu saat bisa berubah. Tetap harus impor, tetapi dengan komponen bahan bakar hanya 1 persen, maka isu impor bukan masalah.
“Kemudian ada thorium yang sebarannya 6 kali lebih banyak dari uranium. Dan Indonesia cukup berlimpah sebagai mineral ikutan timah. Dugaan saya sumber daya thorium di Indonesia cukup untuk 1.000 tahun,” beber Bob.
Program thorium dapat dibuat dalam tiga tahapan program. Seperti yang dilakukan India. Jadi dalam 30 tahun, Indonesia sudah dapat menjadi mandiri energi melalui siklus thorium tertutup. Di mana tidak lagi di butuhkan uranium-235 tetapi memakai uranium-233. Anak dari thorium sebagai bahan fisil.
“Artinya melalui thorium, cita-cita kemandirian energi dapat terwujud,” kata Bob.
Soal tingkat keselamatan, berdasarkan Death per twh by energy source, Bob menunjukkan bahwa nuklir menyumbang kematian terkecil di antara sumber energi lainnya. Artinya nuklir paling aman. Justru PLTU batu bara yang mengakibatkan kematian terbesar. Tapi tidak ada yang mempertanyakan.
Terkait limbah pun, sebenarnya bukan isu besar dan dapat dikatakan sangat aman karena disimpan dalam satu casing silinder yang dalamya terbuat dari baja. Dan beton luarnya tertutup rapat yang secara volume tidak besar. Pada waktunya limbah tersebut bisa digunakan lagi sebagai bahan bakar sehingga dari sisi volume tinggal 3 persen.
Sebagai perbandingan bila seluruh pembangkit di Indonesia yang saat ini 60 GW adalah PLTT maka hanya di butuhkan lahan 1 hektare per enam tahun. Sementara sebagai perbandingan 1.000 MW PLTU batu bara setiap tahun menghasilkan 300 ribu ton limbah dalam bentuk flyash dan bottom ash.
Atau dengan kata lain PLTU menghasilkan 100 ribu kali lebih banyak limbah per kwh di banding PLTT Thorcon. Tentunya dengan limbah batu bara yang jelas-jelas terbuka dan partikel PM2,5 yang terbang menyebabkan gangguan kesehatan serta mencemari lingkungan selamanya.
“Jelas yang menjadi masalah besar sebenarnya adalah limbah batu bara, bukan nuklir,” tegas Bob.
Lulusan University of Bridgeport, Connecticut, Amerika Serikat ini menyebut sedang mencari lokasi di Kalimantan. Yang cocok untuk membangun fasilitas uji coba non-fisi reaktor. Bisa di Balikpapan, Samarinda atau Banjarmasin. Belum dia putuskan. Tapi jelas di Kalimantan bagian timur.
Kariangau di Balikpapan disebut ideal. Tak dekat dengan kota dan punya pelabuhan yang representatif. Tapi sayang ketika dia melihat lokasi, kondisi infrastruktur sangat minim.
Jalan hancur-hancuran. Kalau memang ada keinginan Pemkot Balikpapan mau membangun jalan, maka pihaknya siap melakukan investasi untuk membangun fasilitas test bed platform sekitar setengah triliun di Karingau.
“Tentunya kami akan memilih lokasi dimana adanya dukungan maksimal dari pemda setempat,” sebutnya.
Jika memang Balikpapan siap dan mendukung, maka Kota Minyak akan dikenal sebagai kota nuklir. Semua ilmuwan dan pakar nuklir dunia berkumpul di sini. Mengubah wajah Balikpapan yang sebelumnya dikenal sebagai Kota Minyak menjadi kota Nuklir.
“Lalu akan menyerap tenaga kerja dengan upah kelas dunia bukan kelas UMR (Upah Minimum Regional),” terang Bob.
Lalu bagaimana dengan Kalimantan Barat yang sekarang ingin go nuclear? Bob melihat demand-nya di sana tidak setinggi di Kalimantan bagian Timur.
Tetapi bila impor listrik dari Malaysia dan beberapa PLTD milik PLN yang biayanya cukup mahal dihentikan, serta bila pembangunan Smelter Aluminium yang bahan baku Bauxitenya berlimpah di Kalbar dapat dibangun di Kalbar daripada di Kaltim, maka mungkin ada demand sekitar 1.500 MW sampai 2028 cukup untuk PLTN.
“Tetapi bila marketnya adalah smelter maka cost listriknya harus murah atau bersaing dengan hydro skala besar dan saya rasa hanya Thorcon yang sanggup,” ucapnya.
Selain demand yang cukup yang harus juga di perhatikan oleh Pemda setempat adalah penerimaan masyarakat mengingat banyak sekali informasi yang tidak benar tentang Nuklir dan gampangnya penyebaran hoax jaman sekarang. Pemda harus menggandeng lembaga kemasyarakatan untuk dapat memberikan pemahaman yang akurat.
“Bagi kami bukan masalah karena dengan adanya test bed platform yang kami bangun akan membantu dalam menyakinkan masyarakat bahwa teknologi thorcon tak akan seperti Fukushima. Itu kami jamin. Bahkan akan kami perlihatkan dalam uji coba di fasilitas tersebut,” kata Bob.
Pada tahun 2020 pihaknya akan mulai bangun fasilitas iji coba non-fisi. Fasilitas untuk testing Reaktor yang ukuran sesungguhnya tanpa reaksi Nuklir dan berbagai testing lainnya yang berhubungan dengan sistim keselamatan dan thermohydrolic Fasilitas ini akan menjadi yang pertama di dunia.
“Rencananya fasilitas test bed platform ini termasuk reaktor serta komponen terkait akan di bangun oleh PT PAL yang saat ini detailnya sedang kami bicarakan,” imbuhnya.
Tujuan adanya fasilitas ini adalah untuk melakukan optimasi desain sebelum membangun yang sebenarnya pada tahun 2022 di Korea Selatan.
Kedua adalah bagian dari proses perijinan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Dan yang terpenting untuk dapat menunjukkan kepada pemerintah serta masyarakat kalau reaktor ini aman.
“Bahwa fukushima tidak mungkin terjadi. Lalu golnya ke depan di lokasi yang sama akan dibangun pusat pelatihan serta politeknik nuklir,” tutur Bob.
Karena itu setiap tahunnya, ketika sudah jadi, pihaknya akan memerlukan sekitar 2 – 3 ribu orang untuk di-training sebagai operator PLTT. Karena tiap unit akan membutuhkan 200 kru dan rencananya setiap tahun setelah 2030, akan dibangun 10 – 20 unit. Yang akan siap menjadi tenaga-tenaga ahli jika PLTT sudah ada di Indonesia.
“Dan mereka tentu akan digaji besar,” katanya.
Progresnya, dalam waktu dekat akan masuk tahap desain engineering. Thorcon juga telah bekerjasama dengan Argonne National Lab, lab nuklir terbesar di Amerika Serikat untuk mengembangkan beberapa komponen teknologi terkait MSR. Sebagai EPC adalah salah satu galangan kapal terbesar di Korea Selatan.
Pembicaraan serius sudah mulai dilakukan. Termasuk mengkaji peluang reaktor dapat di bangun di Indonesia oleh PT PAL. Sebelum PLTT dibangun akan diuji dulu desain tersebut. Khususnya terkait keselamatan. Tentunya bekerjasama dengan BATAN dan BAPETEN melalui test bed platform.
“Pada 2021 dilakukan uji coba, bilamana semua testing telah dilakukan BAPETEN dan lolos maka kami berharap pemerintah memberikan ijin konstruksi PLTT untuk mulai dibangun di Korea Selatan pada 2022,” bebernya.
Langkah selanjutnya pada 2023 PLTT kemudian ditarik ke lokasi tapak di Indonesia. Pada 2024 mulai testing fisi. Target COD PLTT unit 1 pada 2025 dan unit 2 pada 2026. Saat ini Balitbang ESDM sedang mengkaji aspek keeknomian, keselamatan, lokasi dan potensi demand untuk melihat peluang implementasi PLTT.
“Beberapa lokasi yang dikaji Kalbar, Babel atau Riau. Tentu pada akhirnya tergantung pemerintah dan PLN,” sebutnya.
Bob tidak melihat mengapa pemerintah tidak mendukung. Pertama PLTN adalah amanat Undang-Undang. Kedua, semua investasi swasta dalam bentuk IPP tanpa perlu APBN. Ketiga harga jual listrik yang murah sekali sehingga dapat membantu sektor industri nasional untuk meningkatkan daya saing.
\”Keempat, dapat mendorong tumbuhnya industri nuklir nasional dan menjadi komoditas ekspor. Dengan kata lain tidak ada resiko bagi pemerintah dan tentunya Kami akan menyumbang sekitar Rp1,8 Trliun per tahun ke kas negara dalam bentuk pajak” katanya.
Saat ini disebutnya sedang dalam proses kajian di Balitbang ESDM diharapkan pertengahan tahun ini selesai. Dan bila hasilnya positif maka pihaknya berharap ESDM dapat memberikan rekomendasikan kepada presiden.
“Kami ingin ada perubahan narasi. Karena sejak awal ada narasi yang salah. Baik dari pemerintah, media massa, hingga ke masyarakatnya,” ujarnya.
Narasi tersebut soal regulasi. Sebenarnya tak ada regulasi yang melarang membangun PLTN. Bahkan PLTN sudah menjadi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional, bahwa Indonesia sudah harus memanfaatkan PLTN di 2024.
Bahkan pada Perpres Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN (Rencana Pembangunan Jangan Menengah Nasional) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo yang di katakan pada tahun 2019 PLTN mulai di bangun.
Lalu soal keselamatan. Narasi yang di kembangkan seolah PLTN itu kurang aman bahkan berbahaya padahal kenyataannya berdasarkan data dan fakta PLTN adalah pembangkit listrik dengan tingkat keselamatan tertinggi.
Di dunia sudah ada lebih dari 448 PLTN, dengan pertumbuhan 3 persen dengan pertumbuhan tertinggi di Tiongkok yang saat ini sudah beroperasi 44 PLTN.
“Bahkan Bangladesh yang negara dengan GDP lebih kecil dari Indonesia sudah membangun PLTN. Tidak mungkin negara-negara tersebut membangun PLTN bila memang keselamatannya di pertanyakan,” ucapnya.
Soal biaya. Narasi yang beredar bahwa PLTN mahal. Itu benar untuk PLTN konvesional yang saat ini beroperasi tapi tidak untuk PLTN generasi maju yang rata-rata akan beroperasi setelah 2025 termasuk yang akan di bangun oleh Thorcon di Indonesia, bila pemerintah mengizimkan.
“Presiden maupun menteri ESDM selama ini selalu mendapatkan informasi yang kurang akurat tentang PLTN yang dibumbui dengan berbagai kecemasan dan rasa ketakutan,” ungkapnya.
Bahkan Buku Putih PLTN 5.000 MW, hasil kajian ESDM pada 2015 batal diterbitkan tanpa alasan yang jelas kecuali tekanan dari pihak anti nuklir. Begitu juga Peta Jalan PLTN yang sudah menjadi perintah Perpres Nomor 22 Tahun 2017 (RUEN), sampai sekarang belum juga dirilis. Walaupun sudah rampung sejak 2018.
“Saya tahu karena saya adalah salah satu anggota tim Peta Jalan PLTN ESDM,” sebut Bob.
Lalu apa yang menghalangi pelaksanaan UU ini? Berdasarkan UU No 17 Tahun 2007 sesungguhnya PLTN di amanatkan sudah beoperasi pada tahun 2025, demikian juga PP No 14 Tahun 2015 hanya saja PP No 79 Tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional mengatakan bahwa nuklir adalah opsi terakhir.
Tentang opsi terakhir tersebut, Bob menjelaskan bahwa walau sebuah PP tidak dapat melawan UU tetapi dalam penjelasan tentang pasal tersebut sebenarnya dikatakan bilamana adanya kebutuhan mendesak maka PLTN dapat di bangun. Dengan kata lain tidak ada regulasi yang melarang PLTN di bangun.
Pun bila dibaca penjelasan pasal 11 ayat 3 tidak demikian yaitu bila telah di lakukan kajian dan adanya kebutuhan mendesak maka PLTN dapat dibangun. Sayang banyak pihak yang tidak membaca penjelasan tersebut. Dari penelusurannya diduga pasal tersebut diselundupkan. Yang dibuat oleh oknum anti nuklir. “Tapi saya tak bisa sebutkan oknum itu,” tukas Bob.